Sssh! not so loud please...
Aiken
The best way to find interesting photo object is to travel on foot
Itu kesan saya ketika berkunjung ke Suramadu. Memang, Suramadu atau di arah penunjuk jalan di Surabaya ditulis Suromadu, adalah sebuah jembatan sepanjang 5438 meter yang menghubungkan Surabaya dan M adura, atau pulau Jawa dengan pulau Madura. Hanya itukah? Hanya sebuah jembatan dimana orang bisa melintasi dua pulau tanpa harus menunggu ferry atau menunggu cuaca baik? Tentunya banyak hal yang bisa kita dapatkan dari Suramadu ketimbang hanya sebuah jembatan.
Gb 2. Perahu nelayan Labang.
Salah satunya adalah pariwisata. Jembatan Suramadu sendiri bisa menjadi objek wisata. Bagaimana tidak, Suramadu adalah jembatan yang cukup panjang dan melintasi dua pulau, belum lagi arsitekturnya yang tidak kalah menarik, seperti halnya Golden Gate di San Francisco. Suatu mahakarya anak bangsa.
Kalau melihat Golden Gate atau London Bridge, diujung jembatan ada tempat berhenti dimana kita bisa mengambil foto, bahkan ada petunjuk tempat yang ideal untuk mengambil foto. Di Suramadu diujung Surabaya tidak ada tempat berhenti sama sekali, langsung masuk pintu tol, sedang di ujung Madura, ada tempat berhenti dipinggir jalan tapi agak jauh dari jembatan dan tidak bisa mendapat angle yang bagus untuk memotret jembatan.
Gb 2b. Perahu yang terbengkalai
Keinginan orang untuk berwisata dan mengagumi jembatan Suramadu tidak terfasilitasi sehingga sering orang menyeberang dan berhenti ditengah jembatan untuk foto-foto, sehingga pengelola harus mengerahkan satu mobil patroli polisi untuk mengusir mereka yang berhenti ditengah jembatan.
Waktu melintasi Suramadu saya berusaha mencari tempat berhenti untuk mengambil foto dan saya melihat sebuah perkampungan disebelah kiri jembatan. Sewaktu exit jembatan, saya mencari jalan menuju ke perkampungan tadi tapi tak juga bertemu jalan yang “pantas” dilewati kendaraan roda empat, hanya sebuah belokan jalan tanah cukup untuk satu mobil. Kesan pertama memasuki Madura adalah gersang karena jalan lurus, datar dan pinggiran jalan cukup lebar tanpa pohon besar. Lebih kurang 5 Km dari jembatan, ada perempatan dengan lampu merah. Nah ini dia pikirku. Langsung aku belok kiri menuju kearah Labang, Tadinya aku pikir akan melewati jalan besar dan halus, ternyata jalan menyempit dan tidak berapa lama jalan mulai berlubang lubang. Tapi saya ingat motto disebuah tayangan tv yang berbunyi “Let’s get lost” jadi saya lanjutkan perjalanan meski sedikit was-was.
Gb 3. Jalan yang teduh menuju Labang.
Kiri kanan jalan adalah sawah tapi tidak terlihat petani yang sedang menggarap sawah sawah tersebut dan jalan kosong, jarang berpapasan dengan kendaraan lain. Jalan berujung disebuah jalan yang lebih besar parallel dengan jalan akses jembatan, jadi perkiraan saya, jalan ini akan membawa saya menuju perkampungan yang saya lihat dari jembatan tadi. Jalanya cukup lebar (10m) dan halus. Kiri kanan jalan mulai terlihat rumah penduduk dan mulai sering berpapasan dengan kendaraan lain. Ternyata dugaan saya benar, saya mulai melihat laut dan jalan menurun menuju laut. Nah dari desa nelayan tersebut saya mendapat angle yang cukup bagus untuk memotret. Posisi desa tersebut adalah sebelah barat dari jembatan. Matahari ada dibelakang jembatan pada pagi hari. Tidak ada tempat parkir khusus karena keliatanya tempat tersebut memang tidak dipersiapkan untuk pariwisata.
Ada nelayan yang menawarkan wisata perahu untuk mendekat jembatan cukup dengan Rp 50.000, tapi tentunya dengan resiko, karena tidak tersedia pelampung atau fasilitas keselamatan lain.
Selain jembatan, apalagi yang kita bisa dapatkan di Madura. Bila kita mendengar Madura, asosiasi kita adalah Sate salah satunya.. atau mungkin Karapan Sapi. Sayang itu semua tidak tampak diperjalanan saya kali ini. Tapi ada yang mungkin khas Madura, ada pedagang makanan pinggir jalan yang menjual gulali, dan martabak khas Madura. Mungkin bukan khas Madura, paling tidak makanan itu belum pernah saya temui di Jakarta atau Surabaya. Semua makanan serba Rp 2000. Si ibu penjaja makanan mungkin kurang yakin bahwa saya berbahasa Indonesia, karena tiap kali saya pesan, si ibu pasti menanyakan apa yang saya ucapkan dengan seorang bapak yang saya temui ditempat itu. Pak Matsyohni dalam bahasa Indonesia juga.
Gb 4. Anak Madura. Jembatan Suramadu terlihat dikejauhan.
Pak Matsyohni ini adalah sosok yang ramah yang menyapa dan mengajak ngobrol saya sebagai orang asing disitu. Beliau adalah mantan security pada masa pembangunan jembatan. Beliau bercerita soal hilangnya mur-mur jembatan pada saat pembangunan. Menurut beliau, mur mur tersebut dibuang kelaut oleh pekerja yang nakal, lalu pada malam harinya, dengan menggunakan perahu, mereka memancing mur-mur tersebut menggunakan magnet. Jadi mitos orang Madura dan besi bekas ternyata tidak meleset jauh.
Jembatan Suramadu bisa lebih dari sekedar jembatan bila Dinas Pariwisata mau sedikit berusaha, misal dengan menggandeng swasta, membangun tempat istirahat atau rest area. Atau mungkin membangun akses ke Labang langsung disamping exit jembatan. Di Rest area tersebut disediakan pos informasi wisata yang memberi tahu tempat-tempat wisata di Madura, juga jadwal acara tradisional seperti karapan sapi dll. Bahkan bisa juga menyediakan counter untuk reservasi hotel.
GB 5. Jajanan tradisional gulali warna orange.
Juga yang jarang saya lihat di Indonesia pada umumnya adalah rambu wisata, yakni rambu lalu lintas yang berwarna dasar coklat dan bertulisan putih yang menunjuk ketempat-tempat wisata. Sayang fasilitas tersebut malah disalah gunakan seperti halnya yang pernah saya lihat di Jakarta. Rambu pariwisata menunjuk ke rumah sakit.
Cara lain mempromosikan wisata adalah menggunakan Internet dengan membangun situs pariwisata, atau bila tidak ada dana, bisa nebeng situs peta seperti wikimapia dengan memberi tanda tempat-tempat wisata.
Wikimapia sudah tersusun berdasar kategori, misal desa, hotel, taman, danau dll, Kita hanya perlu menandai posisi dan memberi keterangan mengenai tempat yang mernarik berdasar kategori. Tapi sangat disayangkan banyak yang menyalah gunakan fasilitas tersebut. Bila anda membuka wikimapia akan melihat banyak sekali tanda yang tidak relevan yang dibuat oleh tangan-tangan jahil. Misal, anda akan melihat tulisan seperti “rumah ortu”, yang samasekali tidak berguna untuk orang banyak dan mengotori wikimapia. Suatu bentuk Vandalisme internet.
Potensi dari keberadaan jembatan Suramadu belum maksimal, masih banyak yang bisa digali. Yang perlu ditambahkan adalah rest area diujung Madura atau diujung Surabaya dan yang tidak kalah pentingnya adalah pusat informasi dikedua rest area tersebut yang menjawab dimana, kapan dan ada apa saja di Madura.
Di pertigaan Oro-oro dowo, jl Basuki Rachmat dan jl Jagung Suprato ada petunuk arah yang ada jam diatasnya. Dipojok pertigaan juga ada bangunan tua yang masih dipertahankan, yakni toko Avia. Sayang area tersebut sudah penuh dengan billboard yang menggangu pemandangan, bahkan muka jam pun sudah menjadi papan iklan.
Gb 3. Gereja Paroki Hati Kudus diujung jl Kayutangan.
Gereja Katedral yang berada diujung jl Ijen dan diapit jl Guntur dan Jl Buring diambil dari jl Surabaya. Saya salah mengambil posisi pemotretan dan juga banyak terhalang oleh pepohonan sehingga hasilnya kurang memuaskan, semoga ada kesempatan untuk mengulang pengambilan foto. Rumah-rumah disekitar masih belum banyak berubah.
Gb 5. SD - SMP Mardiwiyata
SD – SMP Mardiwiyata disamping Polres Malang diambil dari depan RSU dr Saiful Anwar. Menara sekolah sudah tidak ada sekarang. Angle yang sama dengan foto lama juga tidak memungkinkan lagi. Depan RS sudah menjadi tempat parkir dan ada pagar antara tempat parkir dan jalan raya, juga diantara sekolah dengan polres ada jembatan penyeberangan.
Gb 6. Cor Jesu di jl Jagung Suprapto.
Cor Jesu 2011 berbeda dengan Cor Jesu yang sudah berdiri sejak th 1900 dikarenakan peristiwa bumi hangus kota Malang di th 1947. Awalnya gedung ini adalah biara Ursulin, sekarang menjadi SMPK Cor Jesu.Bagi pembaca yang mempunyai foto antik kota Malang sangat diharapkan untuk bisa share foto tersebut dan kalau ada waktu akan saya buatkan perbandingan dengan keadaan sekarang. Juga yang mempunyai informasi lebih dalam tentang foto-foto yang saya ambil silahkan komentar.
Gunung Salak adalah sumber mata air alam yang sangat besar di kabupaten Bogor, banyak perusahaan air mineral mengambil air dari mata air disekitar kaki gunung Salak. Tak heran bila disekitar kaki gunung Salak juga terdapat banyak curug atau air terjun. Curug2 tersebut adalah potensi wisata alam untuk daerah Jabotabek. Alternatif dari wisata alam Puncak yang telah mengalami kerusakan karena komersialisasi yang berlebihan.
Nah, sebelum terlambat, mari kita selamatkan curug2 yang ada disekitar kaki gunung Salak.
Beberapa curug aman dari komersialisasi karena sulit dicapai wisatawan seperti halnya curug Suryakencana, tapi beberapa curug yang mudah dicapai, potensi mengalami kerusakan.
Salah satu curug yang paling mudah dijangkau karena berada persis disamping jalan raya adalah curug Luhur, yang sudah boleh dikatakan rusak karena komersialisasi yang berlebihan yang dilakukan oleh pihak swasta. Curug Luhur telah menjadi semacam waterworld seperti yang kita lihat di Ancol atau Mekarsari. Air terjun hanya menjadi “bonus” disitu. Keaslian alam disekitar curug Luhur sudah hilang.
Gb1. Curug Kawung tampak indah karena warung disebelah kanan tidak tampak dalam foto diatas.
Curug Nangka dan curug Kawung terletak diareal perkemahan yang dikelola oleh pemda setempat sehingga tidak terlalu komersial, tetapi ada unsur sosialnya, yakni menghidupi penduduk setempat. Penduduk setempat berjualan makanan, minuman dan souvenir., sayangnya pengelola tidak mengontrol lokasi mereka berjualan. Mereka berjualan boleh dikatakan dimana saja mereka mau dan ini berbahaya karena akan merusak kelestarian curug tersebut.
Penduduk mendirikan tenda2 sementara disepanjang aliran sungai, bahkan persis disamping curug Kawung telah didirikan warung yang cukup besar. Selain merusak pemandangan, warung tersebut potensial membawa sampah sisa konsumsi makanan seperti halnya botol minuman dan plastik pembungkus makanan ringan.
Gb2. Sedang membuat bendungan
Ada hal yang menarik lainya dari kehadiran pedagang2 makanan disepanjang aliran sungai. Mereka berusaha menarik konsumen dengan menyediakan “kolam” dialiran sungai didepan warung mereka dengan cara membuat semacam bendungan, sehingga terbentuk semacam kolam dan pengunjung akan berenang didepan warung mereka dan bila pengunjung kedinginan dan lapar, tentu saja akan membeli minuman hangat dari warung terdekat. Cukup cerdik, tapi jelas merusak keasrian alam.
Melarang mereka berjualan bukanlah solusi yang baik, tapi membiarkan mereka berjualan dimana mereka mau, jelas tidak mendukung kelestarian alam dan potensi merusak lingkungan alam itu sendiri dan bila rusak, dampak langsung tentu akan mereka juga yang derita.
Mungkin solusinya adalah pembentukan koperasi dari pedagang2 yang ada disitu dan pengelola setempat menentukan lokasi mana yang bisa dipakai untuk berdagang dan mana yang tidak. Dengan begitu penduduk setempat masih bisa menikmati penghasilan dari wisatawan tanpa merusak lingkungan.
Gb3. Curug Luhur telah berubah menjadi Waterboom
Satu hal lagi yang perlu kita renungkan adalah kebebasan photography. Di curug Bojongkoneng, curug yang paling dekat dengan Jakarta. Penduduk setempat memungut Rp50.000 bagi wisatawan yang akan memotret diareal curug, dan itu tanpa tanda terima. Mungkin bagi sebagian orang, 50.000 bukan sesuatu yang besar, tetapi yang pasti hal itu adalah pungutan liar dan pelanggaran hak.
Penduduk setempat tidak menyadari bahwa kenikmatan sesaat itu akan membawa dampak terhadap kunjungan wisata ke Bojongkoneng, wisatawan akan kapok untuk berkunjung lagi. Pemda setempat seharusnya menertibkan pungutan yang tidak semestinya ada ini.
Mari kita selamatkan curug disekitar gunung Salak untuk kebaikan kita semua dan generasi mendatang.