Gunung Salak adalah sumber mata air alam yang sangat besar di kabupaten Bogor, banyak perusahaan air mineral mengambil air dari mata air disekitar kaki gunung Salak. Tak heran bila disekitar kaki gunung Salak juga terdapat banyak curug atau air terjun. Curug2 tersebut adalah potensi wisata alam untuk daerah Jabotabek. Alternatif dari wisata alam Puncak yang telah mengalami kerusakan karena komersialisasi yang berlebihan.
Nah, sebelum terlambat, mari kita selamatkan curug2 yang ada disekitar kaki gunung Salak.
Beberapa curug aman dari komersialisasi karena sulit dicapai wisatawan seperti halnya curug Suryakencana, tapi beberapa curug yang mudah dicapai, potensi mengalami kerusakan.
Salah satu curug yang paling mudah dijangkau karena berada persis disamping jalan raya adalah curug Luhur, yang sudah boleh dikatakan rusak karena komersialisasi yang berlebihan yang dilakukan oleh pihak swasta. Curug Luhur telah menjadi semacam waterworld seperti yang kita lihat di Ancol atau Mekarsari. Air terjun hanya menjadi “bonus” disitu. Keaslian alam disekitar curug Luhur sudah hilang.
Gb1. Curug Kawung tampak indah karena warung disebelah kanan tidak tampak dalam foto diatas.
Curug Nangka dan curug Kawung terletak diareal perkemahan yang dikelola oleh pemda setempat sehingga tidak terlalu komersial, tetapi ada unsur sosialnya, yakni menghidupi penduduk setempat. Penduduk setempat berjualan makanan, minuman dan souvenir., sayangnya pengelola tidak mengontrol lokasi mereka berjualan. Mereka berjualan boleh dikatakan dimana saja mereka mau dan ini berbahaya karena akan merusak kelestarian curug tersebut.
Penduduk mendirikan tenda2 sementara disepanjang aliran sungai, bahkan persis disamping curug Kawung telah didirikan warung yang cukup besar. Selain merusak pemandangan, warung tersebut potensial membawa sampah sisa konsumsi makanan seperti halnya botol minuman dan plastik pembungkus makanan ringan.
Gb2. Sedang membuat bendungan
Ada hal yang menarik lainya dari kehadiran pedagang2 makanan disepanjang aliran sungai. Mereka berusaha menarik konsumen dengan menyediakan “kolam” dialiran sungai didepan warung mereka dengan cara membuat semacam bendungan, sehingga terbentuk semacam kolam dan pengunjung akan berenang didepan warung mereka dan bila pengunjung kedinginan dan lapar, tentu saja akan membeli minuman hangat dari warung terdekat. Cukup cerdik, tapi jelas merusak keasrian alam.
Melarang mereka berjualan bukanlah solusi yang baik, tapi membiarkan mereka berjualan dimana mereka mau, jelas tidak mendukung kelestarian alam dan potensi merusak lingkungan alam itu sendiri dan bila rusak, dampak langsung tentu akan mereka juga yang derita.
Mungkin solusinya adalah pembentukan koperasi dari pedagang2 yang ada disitu dan pengelola setempat menentukan lokasi mana yang bisa dipakai untuk berdagang dan mana yang tidak. Dengan begitu penduduk setempat masih bisa menikmati penghasilan dari wisatawan tanpa merusak lingkungan.
Gb3. Curug Luhur telah berubah menjadi Waterboom
Satu hal lagi yang perlu kita renungkan adalah kebebasan photography. Di curug Bojongkoneng, curug yang paling dekat dengan Jakarta. Penduduk setempat memungut Rp50.000 bagi wisatawan yang akan memotret diareal curug, dan itu tanpa tanda terima. Mungkin bagi sebagian orang, 50.000 bukan sesuatu yang besar, tetapi yang pasti hal itu adalah pungutan liar dan pelanggaran hak.
Penduduk setempat tidak menyadari bahwa kenikmatan sesaat itu akan membawa dampak terhadap kunjungan wisata ke Bojongkoneng, wisatawan akan kapok untuk berkunjung lagi. Pemda setempat seharusnya menertibkan pungutan yang tidak semestinya ada ini.
Mari kita selamatkan curug disekitar gunung Salak untuk kebaikan kita semua dan generasi mendatang.
ok
ReplyDeleteSaya setuju sekali dengan himbauan Bapak tentang perlunya kita menyelematkan curug-curug kita, tapi himbauan ini akan menjadi suatu "gonggongan anjing yg diacuhkan oleh kafilah-kafilah berlalu". Himbauan ini menyangkut kesadaran massal/kolektif bangsa kita yg memang semakin menurun karena pola berpikir kita sudah terbiasa dengan "bagaimana nanti (saja)" bukan yg semestinya "nanti bagaimana (akibatnya)".
ReplyDeleteSaran saya artikel blog ini, yg tentunya harus diterjemahkan terlebih dahulu ke bahasa Inggris, bersama foto-fotonya yg benar-benar artistik dikirim ke majalah "National Geography" atau majalah-majalah internasional lainnya yg sekarang sedang mencanangkan "Go Green". Dengan munculnya artikel ini di majalah-majalah internasional semoga aparat pemerintah yg terkait akan merasa malu (kalau urat malu mereka belum putus hehehe) atas keteledoran mereka.
Foto-foto Bapak ini pantas ditayangkan dalam majalah-majalah parawisata/travel asing lho. Jangan ragukan kwalitas seni yg telah Bapak perlihatkan.
Terima kasih atas saran p Ismail.
ReplyDeleteAkan saya coba.
kayaknya lia pernah kesana pak her... lumayan di jakarta gak ada tempat kayak gitu... seger...
ReplyDeleteYang mana Lia, curug Kawung atau curug Luhur.
ReplyDeleteBojongkoneng deket tuh.. di Sentul.
wah, baru tahu kalau curug2 diubah keasliannya pake warung segala. Mungkin konsep wisata curug nya nih yang musti ada penyegaran. Ingetnya wisata curug cuma sekedar jadi tempat piknik, foto2, atau pacaran, tapi gak dikelola dengan baik
ReplyDeleteBetul banget mbak.. jadi selain diambil manfaatnya juga harus dirawat.
ReplyDeleteSetuju sekali! Pungutan-pungutan liar jelas timbul dari praktek premanisme yang sudah meluas dan membudaya, akibat kurangnya pendidikan budi pekerti dan kurangnya penertiban/ penegakan hukum yang konsisten.
ReplyDelete- YouKnowWho
YouKnowWho.. Saya cuma mimpi kok..
ReplyDelete